
KOLOM (Lentera) -Seminggu berlalu musibah Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny di Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, tim SAR gabungan masih menemukan korban di reruntuhan.
Runtuhnya mushalla pesantren putra, saat Shalat Asar berjamaah yang terjadi pada Senin (29/9/2025), memiliki gaung besar, termasuk di ruang digital.
Hal itu dapat dipahami dari sisi peristiwa yang membawa korban jiwa maupun dari sisi historis, mengingat Ponpes Al Khoziny merupakan pesantren tua yang didirikan KH Khozin (menantu pengasuh Pesantren Siwalan Panji, Sidoarjo, KH Chamdani) pada 1920, atau jauh sebelum negeri ini merdeka.
Apalagi, sejumlah muassis atau pendiri NU, seperti KHM Hasyim Asy'ari dan KH Wahab Chasbullah adalah santri Pesantren Siwalan Panji yang lokasinya bertetangga dengan Al Khoziny itu. Karena itu, alumni Ponpes Al Khoziny menyebar hingga NTB, Kalimantan, dan bahkan Malaysia.
Tidak hanya itu, era digital, saat ini, juga menyoroti dari sisi-sisi sangat teknis dan diviralkan, hingga lintas negara lewat internet.
Pakar kebijakan teknologi AS, Alec Ross, menyebut internet adalah kekuatan paling disruptif untuk sebuah negara bangsa berdaulat.
Ponpes Al Khoziny yang saat ini memiliki 1.200-an santri itu tentu menjadi berita besar bila ada peristiwa. Mengutip Lentera (Senin, 6/10/2025, Tim Basarnas melaporkan, pada hari ketujuh musibah:
- Total korban telah dievakuasi 157 orang
- Total korban selamat 104 orang
- Total korban meninggal dunia 53
- Total korban masih hilang 7 orang
Menyikapi peristiwa itu, para warganet yang aktif menggunakan teknologi digital justru menyoroti dari sisi teknis semata, meski sebagian besar diantaranya membahas sisi kemanusiaan.
Dari sisi teknis, sorotan yang muncul adalah mencari kesalahan secara teknis dan akhirnya mengarahkan pada pihak pesantren yang dinilai tidak bertanggung jawab atau dalam bahasa teknis hukum adalah kelalaian. Tidak ada kepedulian pada korban sama sekali, karena hanya satu poin yang viral, yakni siapa yang salah?
Sorotan antara lain terkait lambannya alat berat (crane) menangani reruntuhan bangunan, eksploitasi santri dalam pembangunan, eksploitasi bantuan, struktur bangunan yang tidak memiliki pertimbangan teknis untuk keamanan/keselamatan, izin mendirikan bangunan (IMB), dan kesalahan lainnya, termasuk menyalahkan istilah "takdir" dari pengasuh.
Tim Basarnas menjelaskan penggunaan alat berat yang terkesan lamban itu justru karena Tim Basarnas masih mempertimbangkan pola reruntuhan di Pesantren Al Khoziny, yakni pancake (material reruntuhan saling tumpang tindih dan tidak stabil), sehingga membutuhkan penopang sebelum evakuasi.
Mengutip Antara, tim tidak bisa langsung bekerja, karena harus menunggu golden time (korban yang dimungkinkan masih hidup dalam 72 jam sejak kejadian) yang jika petugas lapangan gegabah, justru tidak selamat.
Pendekatan etika
Terkait isu eksploitasi santri dalam pembangunan pesantren, padahal para santri itu tidak mengerti masalah struktur bangunan, Wakil Sekretaris Pengurus Wilayah (PW) Rabithah Ma'ahid Islamiyah (RMI/Ikatan Pesantren) NU Jatim Ahmad Firdausi membantah adanya eksploitasi santri dan juga eksploitasi bantuan musibah. Tradisi roan (kerja bakti) itu ada di semua pesantren, bukan cuma Al Khoziny.
"Roan" itu merupakan bukti adanya gotong royong dan semangat kebersamaan di kalangan pesantren, namun ke depan memang perlu melibatkan tim teknis terkait bangunan/gedung. Artinya, ketidaktahuan santri dan kiai dalam hal teknis bangunan bukanlah kelalaian, melainkan bermula dari ketidaktahuan (tidak sengaja).
Selain kebersamaan, pesantren juga mempunyai tradisi ketaatan kepada guru yang luar biasa, karena kiai dan bu nyai itu 24 jam memikirkan santri, bahkan mereka yang meninggal dunia pun masih dipikirkan dengan kiriman doa melalui tahlil dan doa bersama.
Terkait eksploitasi bantuan oleh pengasuh pesantren juga terbantahkan, karena pengasuh hanya sebagai wasilah (jembatan) dan terbukti bantuan juga disalurkan kepada para keluarga santri yang menjadi korban musibah, meski ada beberapa yang mengembalikan ke pesantren untuk membangun kembali mushalla.
Rabu (1/10/2025), keluarga korban yang dari Bangka Belitung juga dibantu proses kargo jenazah dan pemulangan, tapi keluarga korban menolak, karena ikhlas dan pesantren dinilai lebih membutuhkan untuk rehabilitasi atau evakuasi kata Sekretaris NUcare LazisNU Jawa Timur, Moch Rofi'i Boenawi.
Sejak Selasa (30/9/2025), PBNU, PWNU, dan PCNU, melalui Lazisnu, LPBI, RMI, dan Satgas NU Peduli Al Khoziny juga sudah melakukan mitigasi di lapangan untuk wali penyintas dan juga di beberapa rumah sakit, bahkan satgas juga mendampingi pengasuh pesantren ke rumah sakit dan rumah korban.
Selain mitigasi di lapangan, satgas juga sudah membuka dapur umum untuk keluarga korban, petugas, dan pengunjung. Ada juga posko pengaduan, posko donasi, dan empat posko satgas, yakni Posko 1 (Pesantren Al Khoziny), Posko 2 (Biddokkes RS Bhayangkara), Posko 3 (PWNU Jatim), dan rumah duka.
Walhasil, informasi atau klarifikasi dari Tim Basarnas, Tim Satgas NU Peduli Al Khoziny, dan juga keikhlasan pengasuh pesantren serta keluarga korban (wali penyintas), agaknya menunjukkan bahwa pengamatan dari sisi teknis justru terjebak framing digital yang mungkin logis, tapi justru tidak sesuai dengan fakta di lapangan, apalagi pesantren lebih mengedepankan pendekatan agama dan etika yang lebih berkualitas di tengah musibah.
Meskipun demikian, peristiwa tersebut menjadi pelajaran besar bagaimana pesantren menyiapkan gedung atau sarana pendidikan yang harus berorientasi pada keselamatan para santri dan seluruh warga pesantren (*)
Editor: Arifin BH