08 October 2025

Get In Touch

Hanya 0,0039 Persen SPPG Miliki SLHS

Yunus Supanto, Wartawan Senior dan Wakil Ketua Tanfidziyah PCNU Kota Surabaya
Yunus Supanto, Wartawan Senior dan Wakil Ketua Tanfidziyah PCNU Kota Surabaya

OPINI (Lentera) -Direkomendasikan moratorium sementara MBG, sampai seluruh perbaikan telah diselesaikan. Setiap hari di berbagai media mainstream, media online, dan media sosial, selalu dilaporkan keracunan MBG. Berita televisi setiap hari mengulas kasus keracunan MBG (Makanan Bergizi Gratis). Keracunan juga dialami ibu-ibu hamil, ibu menyusui, dan guru. Beberapa Pemerintah Daerah kabupaten dan Kota, menetapkan KLB (Kejadian Luar Biasa). Bagai estafet KLB keracunan MBG, setiap hari! 

Menimbulkan trauma orangtua, dan segenap siswa yang terpapar sakit perut yang ak tertahankan. Presiden Prabowo, tidak boleh menyatakan kasus keracunan “Cuma 0,00017 persen.” Karena di satu daerah terdapat kasus keracunan sampai 11 persen. Keselamatan jiwa, terhindar dari penyakit, menuntut perlindungan segala-galanya. Bahkan perlindungan setiap rakyat, menjadi cita-cita dibentuknya pemerintah negara Indonesia.

Tercantum dalam alenia ke-4 UUD, dinyatakan, “…membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia … .”

Setiap jiwa rakyat Indonesia wajib dilindungi dari penyakit. Terutama anak-anak. Perlindungan diakui sebagai HAM (hak asasi manusia), tercantum dalam konstitusi dasar.

Secara khusus anak-anak juga memiliki HAM, tekstual tertulis dalam UUD pasal 28B ayat (2), dinyatakan, “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.” Kesakitan yang parah karena keracunan MBG, niscaya menghambat tumbuh kembang anak.

Keracunan MBG tidak boleh dianggap sepele. Lebih lagi jika terjadi pada anak usia PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) di bawah 7 tahun. Daya tahan dari kesakitan anak-anak masih sangat rentan. Perlu ke-peka-an pejabat terhadap kesehatan anak. Begitu pula hamil yang keracunan akan sangat berpengaruh pada janin yang dikandung. Muntah dan diare akibat keracunan makanan bisa menyebabkan ibu hamil mengalami dehidrasi dan kekurangan nutrisi esensial. Bisa berakibat sangat fatal.

Keracunan makanan sangat diwaspadai di seluruh dunia. Di Indonesia setidaknya terdapat tiga undang-undang (UU) yang mengancam pidana terhadap keracunan makanan. Termasuk dalam UU Nomor 18 Tahun 2012 Tentang Pangan.

Dalam pasal 64 ayat (1), dinyatakan, “Setiap orang yang melakukan Produksi Pangan Olahan tertentu untuk diperdagangkan wajib menerapkan tatacara pengolahan pangan yang dapat menghambat proses penurunan atau kehilangan kandungan gizi bahan baku pangan yang digunakan.” 

Jika pasal 64 diterabas, maka berlaku pasal 134, dipidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak Rp 2 milyar. Penerima manfaar MBG juga dilindungi UU Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Khususnya pasal 19 ayat (1), dan ayat (2). Bahkan korban keracunan bisa menggunakan pasal 359 dan pasal 360 KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Keracunan makanan sampai dibawa ke rumah sakit dapat disetarakan dengan luka berat. Karena dampaknya sangat membehayakan.

Namun ironis, hingga saat ini belum terdapat dapur SPPG yang dilaporkan (dan dituntut) akibat keracunan makanan MBG. Bahkan yang keracunan meliputi 100 hingga 500 murid.

Misalnya SPPG Bengkulu Lebong Sakti Lemeu Pit, jumlah korban sebanyak 467 orang. Begitu pula di SPPG “Sukabumi” Lampung, jumlah korban 503 orang. Di Jawa, SPPG dengan jumlah korban keracunan terbesar, terjadi antara lain di Pandeglang Menes (480 anak), Limbangansari, Cianjur (254 anak), dan Coblong, Kota Bandung (320 anak).

Masih sangat banyak SPPG dengan korban di atas 200-an anak. Korban keracunan berada di seantero Sumatera, Jawa (di 6 propinsi), Aulawesi, Papua hingga Nusa Tenggara Timur (NTT). Seluruhnya masih bebas, belum tersentuh hukum.

Sanksi paling berat, hanya ditutup, dan tidak memperoleh order MBG lagi. Berdasar penjejakan JPPI (Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia), jumlah korban keracunan di lingkup nasional sebanyak hampir 11 ribu orang. Meliputi anak-anak SD hingga SLTA, guru, dan ibu hamil dan menyusui.

Ironis, hanya 34 (hanya 0,0039 persen) dapur SPPG yang memiliki SLHS (Sertifikat Laik Higiene dan Sanitasi). Sehingga program MBG wajib dikoreksi total. Bahkan perlu moratorium sementara (*)

Penulis: Yunus Supanto, Wartawan Senior dan Wakil Ketua Tanfidziyah PCNU Kota Surabaya|Editor: Arifin BH

Share:

Punya insight tentang peristiwa terkini?

Jadikan tulisan Anda inspirasi untuk yang lain!
Klik disini untuk memulai!

Mulai Menulis
Lenterajakarta.com.
Lenterajakarta.com.