
Salah seorang pasien radioterapi wajahnya terlihat tegang. Tak ada senyuman di bibirnya.
Ia pun enggan masuk ke ruangan tempat sinar. Istilah awam radioterapi.
Padahal, sekali sinar hanya hitung detik. Tak lebih dari 10 detik. Pun tak terasa apa-apa.
Wajahnya tampak serius. Penuh ketakutan. Padahal, sudah berkali-kali menjalani radioterapi.
Namanya Ibu Mariam. Asal sehuah desa. Nun jauh dengan kota. Di Bojonegoro.
Di Surabaya. Ia sewa kamar, dengan putranya. Yang tiap hari mengantar ke rumah sakit.
Pasien kanker dari luar Surabaya yang menjalani sinar di RSPAL dr Ramelan memang banyak yang tinggal di rumah singgah.
Satu rumah disewa rame-rame. Yang lokasinya sekitar rumah sakit.
Setiap Jumat sore. Selesai disinar. Mereka pulang ke kampung halamannya. Karena sinar harus dijalani setiap hari. Senin hingga Jumat. Sabtu dan Minggu, libur. Termasuk hari besar.
"Suster. Saya mohon izin. Untuk jalani sinar yang pagi saja. Biar bisa pulang ke Madura," pinta salah satu pasien lewat group WA pasien pencari kesembuhan di Rumah Sakit Pusat Angkatan Laut (RSPAL) dr Ramelan.
"Usai di radioterapi, saya bisa langsung pulang," sambungnya.
Akhirnya Ibu Mariam, mau juga disinar setelah dijelaskan resikonya oleh petugas yang lewat di depan tempat duduk. Yang iya cegat. Dan tanyakan hal itu.
Saya yang duduk di belakangnya. Menyimak percakapannya dengan petugas itu.
Dan ikut nimbrung memberikan motivasi. Kalau sinar, tak terasa apa-apa.
Usai jalani radioterapi, yang istilah awamnya sinar itu, saya tak langsung pulang. Menunggu Ibu Mariam. Ingin tahu. Mengapa kali ini tegang. Dan takut.
Sambil berjalan keluar ruangan saya ajak ngobrol. Ternyata, dia baru saja dengar cerita dari teman senasibnya. Tentu cerita yang menakutkan.
Saya sampaikan. Tidak perlu takut. Tak perlu dengar omongan orang yang negatif. Jalani saja. Sesuai petinjuk dokter. "Insya Allah ..... sehat," kata saya.
Dulu. Orang takut dengan kanker. Karena belum ada obatnya. Sekarang, obatnya sudah banyak.
Kata-kata itu. Saya kutip dari ucapan Dahlan Iskan. Saat memotivasi saya.
Dengar cerita saya, ibu tiga anak itu, nampak semangat.
"Terima kasih Pak," tuturnya pelan, sambil jalan (*)
Penulis: M. Nasaruddin Ismail, wartawan senior tinggal di Surabaya|Editor: Arfin BH