SURABAYA (Lentera) - Popularitas vaksin COVID-19 berbasis mRNA meningkat pesat setelah terbukti menyelamatkan sekitar 2,5 juta jiwa di seluruh dunia selama masa pandemi. Menariknya, jenis vaksin ini juga menunjukkan kemampuan luar biasa dalam mengaktifkan sistem kekebalan tubuh agar lebih agresif melawan sel kanker.
Penemuan tersebut berasal dari penelitian tim ilmuwan di University of Texas MD Anderson Cancer Center dan University of Florida. Saat mengembangkan vaksin mRNA untuk pasien dengan tumor otak pada tahun 2016, tim yang dipimpin oleh dokter onkologi pediatrik Elias Sayour menemukan bahwa mRNA mampu “melatih” sistem imun tubuh untuk menyerang dan menghancurkan sel tumor.
"Data ini sangat menarik, tetapi perlu dikonfirmasi dalam uji klinis Fase III," kata Adam Grippin, penulis utama studi dilansir The Washington Post.
Selain meneliti tumor otak, para ilmuwan juga meninjau hasil klinis dari lebih dari 1.000 pasien penderita melanoma stadium lanjut dan kanker paru-paru yang menjalani pengobatan menggunakan jenis imunoterapi bernama inhibitor titik pemeriksaan imun.
Sebagai konteks, inhibitor titik pemeriksaan imun merupakan obat imunoterapi yang berfungsi “melepaskan rem” pada sistem kekebalan tubuh, sehingga sel imun dapat kembali aktif menyerang dan menghancurkan sel kanker. Terapi ini bekerja dengan cara memblokir protein yang dihasilkan oleh sel tumor yang biasanya menonaktifkan sel imun, sehingga sistem kekebalan dapat terus melawan dan membasmi sel kanker.
Peluang Harapan Hidup
Pasien kanker yang menerima vaksin COVID-19 berbasis mRNA seperti Pfizer atau Moderna memiliki peluang harapan hidup dua kali lipat atau lebih (setelah tiga tahun) setelah 100 hari memulai imunoterapi.
Dilansir Live Science, pasien tumor yang tidak mendapat kemanjuran maksimal dari imunoterapi juga merasakan manfaat. Angka harapan hidup mereka meningkat tiga kali lipat yakni tiga tahun.
Hubungan antara peningkatan kelangsungan hidup dan penerimaan vaksin mRNA COVID-19 ini tetap kuat bahkan setelah peneliti memperhitungkan faktor-faktor seperti tingkat keparahan penyakit dan kondisi yang menyertai.
Menurut peneliti, vaksin mRNA COVID-19 bertindak seperti alarm. Ia memicu sistem kekebalan tubuh untuk mengenali dan membunuh sel tumor serta melawan kemampuan kanker untuk mematikan sel kekebalan. Ketika dikombinasikan, terapi vaksin dan inhibitor titik pemeriksaan imun, berkoordinasi untuk melepaskan kekuatan penuh sistem kekebalan tubuh dalam membunuh sel kanker.
Mengapa Temuan Ini penting?
Imunoterapi dengan inhibitor titik pemeriksaan imun telah menjadi terobosan besar dalam pengobatan kanker dan mampu menyembuhkan banyak pasien yang sebelumnya sulit ditangani. Namun, terapi ini kurang efektif terhadap tumor “dingin” yang tidak terdeteksi sistem imun.
Peneliti menemukan bahwa vaksin mRNA dapat menjadi pemicu bagi sistem kekebalan untuk mengubah tumor “dingin” menjadi “panas” sehingga dapat diserang. Jika terbukti dalam uji klinis, pendekatan ini berpotensi menjadi solusi murah dan mudah diakses bagi jutaan pasien kanker di seluruh dunia.
Vaksin mRNA COVID-19 yang sudah tersedia secara luas dianggap memiliki efek antitumor signifikan dan bisa memperluas manfaat imunoterapi. Saat ini, tim peneliti sedang menyiapkan uji klinis pada pasien kanker paru-paru, yang akan membandingkan hasil pengobatan dengan dan tanpa tambahan vaksin mRNA.
Studi ini dipublikasikan di jurnal Nature dengan judul “SARS-CoV-2 mRNA vaccines sensitize tumours to immune checkpoint blockade.”
Co-Editor: Nei-Dya/berbagai sumber





.jpg)
