OPINI (Lentera) -Laut Indonesia, yang seharusnya menjadi ladang kehidupan bagi nelayan dan ekosistem, kini seperti pesta gelap tanpa tuan rumah.
Ikan-ikan berenang di antara jarum suntik, botol wadah pil, dan limbah kimia yang dibuang sembarangan. Secara umum belum disadari bahwa mereka menjadi korban eksperimen manusia yang lalai. Setiap riak gelombang membawa ancaman, setiap arus membawa racun yang meracuni kehidupan bawah laut.
Bulan Juli 2025 lalu drama jarum suntik viral Pantai Legian di Kelurahan Legian, Kecamatan Kuta, Badung, Bali, dikotori sampah medis viral di media sosial (medsos).
Sejumlah jarum suntik bekas ditemukan terdampar di pinggir pantai oleh seorang turis asing saat jalan-jalan.
Turis asing itu mengumpulkan temuannya lalu dibuang ke tempat sampah milik salah satu pedagang di Pantai Legian. Sebelum membuangnya, turis itu sempat menunjukkan sampah medis itu kepada pemilik warung.
Kasus lain terjadi di perairan Kepulauan Riau. Pada Mei 2025 ditemukan 2 ton sabu diselundupkan lewat kapal nelayan. Hal ini mengancam ekosistem dan kesehatan masyarakat.
Jalur laut internasional pun menjadi sarang penyelundupan: di Eropa lebih dari 1.200 ton narkoba disita antara 2019–2024, dan di India lebih dari 300 kilogram methamphetamine dibuang ke Laut Arab.
Setiap angka adalah nyawa ikan dan perjuangan nelayan. Indonesia memiliki sekitar 2,5 juta nelayan tradisional, yang kini harus menghadapi laut sebagai medan tempur. Mereka bukan hanya melawan gelombang dan cuaca, tetapi juga limbah kimia dan narkoba yang tersebar di perairan mereka.
Di banyak wilayah pesisir, nelayan melaporkan penurunan populasi ikan kecil hingga 15–20 persen dalam lima tahun terakhir akibat kombinasi overfishing dan polusi. Plankton, yang menjadi makanan dasar ikan, pun menurun, menandakan rantai makanan mulai terganggu.
Setelah pulang dari laut, perjuangan mereka belum selesai. Harga ikan fluktuatif: kerapu bisa dijual Rp25.000 per kilogram, sementara tongkol hanya Rp8.000. Seringkali biaya bahan bakar dan perawatan alat tangkap melebihi pendapatan harian, menjadikan perjuangan mereka terasa sia-sia.
Belum lagi pasokan bahan bakar yang tidak stabil, bisa naik hingga 50 persen dalam beberapa bulan. Jaring dan alat tangkap butuh perawatan rutin, sedangkan ikan yang terkontaminasi menambah risiko kesehatan. Beberapa nelayan di Riau melaporkan gejala pusing dan mual karena sering terpapar limbah narkoba
Fenomena ini menambah lapisan ancaman: ikan yang masuk ke pasar mengandung zat kimia sintetis yang bisa menimbulkan gangguan saraf bagi konsumen. Dampaknya bisa dirasakan dalam jangka panjang, baik bagi kesehatan masyarakat maupun keberlanjutan ekonomi nelayan tradisional.
Pemerintah sejauh ini lebih banyak melakukan kampanye kesadaran dan patroli lait sporadis. Padahal, apabila laut terkontaminasi adalah ancaman jangka panjang bagi kesehatan publik dan ekonomi nelayan tradisional. Tanpa langkah konkret, efek domino akan terasa luas.
Berdasarkan analisis, jika kondisi ini terus berlanjut, dalam lima hingga sepuluh tahun, maka stok ikan di perairan tradisional bisa turun 30–40 persen. Nelayan kecil akan paling merasakan dampaknya, karena mereka tidak memiliki cadangan finansial maupun teknologi mitigasi.
Laut yang seharusnya menjadi ladang rezeki kini berubah menjadi laboratorium biologis. Setiap ikan yang mabuk, setiap plankton yang mati, adalah cermin dari keserakahan manusia. Laut menjerit dalam diam, menandai ketidakpedulian yang berujung pada kerusakan ekologis.
Pemerintah harus bersikap kritis. Patroli laut perlu diperketat, regulasi pembuangan limbah berbahaya ditegakkan, dan jalur penyelundupan diputus. Nelayan perlu edukasi dan perlindungan agar tidak menjadi korban dua kali: dari alam dan dari sistem perdagangan gelap.
Masyarakat sipil bisa berperan, tetapi tanpa kebijakan konkret, upaya ini tetap terbatas. Laut tidak bisa menunggu; ikan-ikan terus terpapar zat berbahaya, sementara nelayan menghadapi risiko ganda yang nyata.
Kegagalan menindak penyelundupan narkoba dan limbah kimia akan menjadikan laut Indonesia sebagai laboratorium berbahaya, tempat ikan menjadi indikator keserakahan manusia. Laut yang dulu memberi kehidupan kini menjadi cermin ketidakpedulian manusia terhadap alam dan sesama makhluk hidup.
Akhirnya, nasib ikan mabuk dan nelayan yang terjebak harus menjadi alarm nasional.
Laut harus diperlakukan bukan sekadar sumber ekonomi. Ekosistemnya harus dilindungi. Tanpa kesadaran kolektif dan tindakan nyata, masa depan perairan Indonesia akan suram, dan gelombang terakhir mungkin akan membawa lebih dari sekadar air: racun dan kehancuran yang sulit diperbaiki (*)
Penulis: M. Rohanudin|Editor: Arifin BH





.jpg)
