22 November 2025

Get In Touch

Kasus Gagal Ginjal Melonjak di Dunia, Bagaimana Indonesia?

Ilustrasi gagal ginjal.
Ilustrasi gagal ginjal.

SURABAYA (Lentera) - Kasus gagal ginjal atau penyakit ginjal kronis (chronic kidney disease/CKD) di dunia melonjak drastis dalam tiga dekade terakhir. Apakah lonjakan serupa juga terjadi di Indonesia?

Berdasarkan riset terbaru dari Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) berbasis data Global Burden of Disease (GBD) 2023 mengungkap bahwa jumlah orang dewasa yang hidup dengan CKD mencapai 788 juta orang pada 2023. Penyakit ini menempati peringkat kesembilan penyebab kematian tertinggi di dunia, menewaskan 1,5 juta orang pada tahun yang sama.

Sedagkan, berdasarkan data International Society of Nephrology pada tahun 2024 tercatat lebih dari 850 juta orang di seluruh dunia hidup dengan berbagai jenis penyakit ginjal, menjadikannya sebagai epidemi tersembunyi yang terus berkembang setiap tahunnya. WHO menyebut penyakit ginjal sebagai salah satu penyebab kematian utama di dunia.

Lebih dari separuh penderita bahkan tidak menyadari bahwa ginjal mereka sedang mengalami kerusakan. IHME menemukan mayoritas kasus berada pada stadium awal, yaitu stadium 1-3, yang sering kali tidak memunculkan gejala. Kondisi ini membuat CKD berkembang diam-diam hingga akhirnya terdeteksi pada tahap lanjut, ketika fungsi ginjal sudah menurun signifikan.

Ternyata, kasus gagal ginjal di Indonesia juga cukup tinggi. Berdasrkan data BPJS Kesehatan menyebutkan sepanjang tahun 2024 tercatat sebanyak 134.057 pasien gagal ginjal kronis menjalani prosedur hemodialisa atau cuci darah.

Kondisi tersebut membuat biaya pengobatan yang dikeluarkan untuk penyakit ginjal kronis mencapai Rp11 triliun, ditambah meningkatnya jumlah pasien yang memerlukan perawatan.

Peningkatan kasus CKD secara global tidak hanya dipicu oleh pertumbuhan populasi dan penuaan. Penyebab utamanya ternyata semakin dipengaruhi gaya hidup modern. 

Sayangnya, perhatian masyarakat terhadap kesehatan organ vital ini masih minim. Masyarakat Indonesia mengabaikan pentingnya menjaga pola hidup sehat, termasuk konsumsi air putih yang cukup dan pemeriksaan kesehatan secara berkala.

Selain itu, gaya hidup yang serba instan serta kurangnya edukasi membuat ginjal menjadi organ yang kerap “terlupakan”. Padahal, fungsi ginjal krusial dalam menyaring racun dan menjaga keseimbangan cairan tubuh. Lebih dari itu, menjamurnya jajanan kemasan, baik makanan maupun minuman yang mengandung zat aditif, pemanis buatan, dan pengawet berbahaya turut memperparah situasi.

Produk-produk ini sering dikonsumsi tanpa disadari bahayanya bagi kesehatan ginjal. Kandungan dalam jajan tersebut kerap kali berada di luar batas aman yang direkomendasikan tubuh. Jika tidak disikapi dengan bijak, konsumsi jangka panjang dapat merusak fungsi ginjal secara perlahan dan berujung pada gagal ginjal kronis.

Sebab, berbagai asupan tersebut bisa memicu gula darah puasa tinggi, kegemukan, dan tekanan darah tinggi. IHME menyebut kondisi itu sebagai tiga faktor risiko terbesar yang memicu kerusakan ginjal di hampir semua kelompok usia.

Diabetes dan hipertensi tetap menjadi kontributor terbesar, namun studi ini menegaskan bahwa CKD bersifat multifaktorial dan berkaitan dengan pola makan, lingkungan, sosial ekonomi, serta faktor pekerjaan.

IHME juga menegaskan bahwa kerusakan ginjal berdampak jauh lebih luas dari yang diperkirakan. Pada 2023, disfungsi ginjal berkontribusi terhadap 11,5% kematian akibat penyakit jantung secara global.

Artinya, CKD bukan hanya penyakit yang merusak ginjal, melainkan faktor penting yang memicu kematian kardiovaskular. Temuan ini memperkuat langkah Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang menetapkan CKD sebagai penyakit tidak menular prioritas global, setara dengan kanker, diabetes, dan penyakit jantung.

Peneliti IHME menekankan bahwa deteksi dini harus menjadi fokus utama negara-negara di seluruh dunia. Skrining albuminuria dan pemantauan faktor risiko pada populasi rentan masih minim dilakukan, bahkan di negara berpendapatan tinggi.

Mereka berharap temuan ini dapat mendorong pemerintah untuk memasukkan CKD dalam kebijakan kesehatan publik secara lebih serius serta memperluas akses terhadap pengobatan efektif yang dapat memperlambat kerusakan ginjal dan mencegah komplikasi jantung. (*)

Editor : Lutfiyu Handi/berbagai sumber

Share:
Lenterajakarta.com.
Lenterajakarta.com.