22 November 2025

Get In Touch

Bahaya Tersembunyi di Balik Makanan Kukusan yang Dingin

Bahaya Tersembunyi di Balik Makanan Kukusan yang Dingin

SURABAYA ( LENTERA ) - Makanan kukusan, ubi, singkong, kentang, jagung, hingga aneka umbi, selalu punya tempat istimewa di lidah banyak orang Indonesia. Hangat, lembut, sederhana, dan sering kali mengingatkan orang pada suasana rumah.

Dalam beberapa tahun terakhir, makanan kukusan bahkan kembali jadi tren, terutama di kalangan Gen Z yang mulai mencari opsi sarapan lebih ringan dan dianggap lebih sehat ketimbang menu tinggi minyak dan kalori.

Namun, di balik kesan “aman dan sehat”, makanan jenis ini menyimpan risiko yang sering tak disadari. Banyak orang terbiasa membiarkan kukusan berada di meja makan selama berjam-jam, menunggu waktunya disantap kembali. Masalahnya, ketika makanan rebus atau kukus dibiarkan dingin terlalu lama di suhu ruang, proses ini bisa berubah menjadi pemicu keracunan yang serius.

Spesialis gizi klinis, Ardian Sandhi Pramesti, menegaskan bahwa makanan rebusan dan kukusan tergolong rentan karena kandungan airnya tinggi. Kondisi ini membuatnya mudah menjadi tempat berkembangnya bakteri patogen jika disimpan secara sembarangan.

“Makanan rebus atau kukus berada pada zona risiko ketika ditinggalkan di suhu 4°C hingga 60°C. Di rentang itu, bakteri seperti Salmonella, E. coli, atau Bacillus cereus dapat berkembang biak dua kali lipat hanya dalam 20 menit,” jelasnya.

Menurut Ardian, salah satu sumber keracunan yang paling sering terjadi justru berasal dari kesalahan dasar yang tampak sepele: proses pendinginan yang lambat. “Kalau makanan panas dibiarkan dingin perlahan di suhu ruang, bakteri yang tumbuh dapat menghasilkan toksin yang tahan panas. Artinya, meskipun dipanaskan ulang, racunnya tidak hilang,” ujarnya.

Inilah sebabnya seseorang bisa tetap keracunan meski kukusan telah dipanaskan kembali sebelum dimakan.

Makanan berkarbohidrat tinggi seperti singkong, kentang, ubi, dan jagung menjadi kelompok paling rawan karena bakteri Bacillus cereus sangat mudah berkembang pada jenis pangan tersebut.

Bacillus cereus dapat menghasilkan dua jenis toksin, yang memicu muntah dan yang menyebabkan diare. Kedua toksin sama-sama dapat bertahan meski makanan sudah dipanaskan kembali.

Fenomena kukusan basi tanpa disadari ini ternyata umum terjadi. Banyak orang membiarkan rebusan sarapan yang tersisa hingga siang atau sore, lalu menghangatkannya ulang tanpa mengetahui bahwa proses tersebut sudah cukup memberi kesempatan bagi mikroba untuk berkembang.

Makanan kukusan kerap dipersepsikan sebagai makanan paling “netral” kareba tanpa minyak, tidak digoreng, dan jarang menggunakan bumbu kompleks. Namun, persepsi ini justru membuat banyak orang lengah. Makanan yang tampak sederhana belum tentu bebas risiko.

Kandungan air yang tinggi membuat bakteri lebih mudah berkembang. Selain itu, struktur makanan seperti singkong atau kentang juga dapat menyerap spora bakteri sejak fase mentah, yang kemudian aktif ketika suhu penyimpanan tidak tepat. Hal-hal inilah yang jarang dipahami masyarakat.

Kesalahan Penyimpanan

Kebiasaan menaruh kukusan di meja makan selama berjam-jam menjadi pemicu utama masalah. Di Indonesia, suhu ruang rata-rata berada di kisaran 28—32°C, yang merupakan “zona nyaman” bagi bakteri untuk berkembang biak dengan cepat.

Semakin lama makanan dibiarkan, semakin besar risiko toksin terbentuk.
Ardian menekankan bahwa masyarakat seharusnya mengikuti empat prinsip keamanan pangan: bersihkan (clean), pisahkan (separate), masak (cook), dan dinginkan (chill). Keempat langkah ini dirancang agar makanan tetap aman dikonsumsi, termasuk untuk makanan sederhana seperti rebusan dan kukusan.

Pada langkah pertama, mencuci bahan makanan bukan sekadar membilas. Umbi-umbian yang kotor harus digosok di bawah air mengalir untuk menghilangkan tanah dan mikroorganisme yang menempel. Alat masak juga harus bersih agar tidak terjadi kontaminasi silang, terutama jika sebelumnya digunakan untuk mengolah daging mentah.

Langkah berikutnya adalah memastikan proses pemasakan benar-benar membuat makanan matang sempurna. “Kukus atau rebus sampai empuk, dengan suhu internal minimal 74°C. Atau gunakan air mendidih 100°C untuk memastikan bakteri mati,” kata Ardian.

Untuk proses pengukusan, uap panas dari air mendidih harus menyentuh makanan selama 15—20 menit. Ia mengingatkan agar masyarakat tidak terlalu lama memasak, karena overcooking dapat merusak kandungan nutrisi.

Proses paling krusial sebenarnya terjadi setelah makanan matang. Banyak orang menunda konsumsi, berharap kukusan bisa dimakan nanti atau disimpan untuk beberapa jam ke depan. Padahal, menurut Ardian, makanan panas yang dibiarkan terlalu lama di suhu ruang tanpa perlakuan khusus merupakan kesalahan yang sering berujung pada keracunan.

Kukusan yang dibiarkan lebih dari dua jam di suhu ruang masuk kategori risiko tinggi. Hal ini berlaku untuk semua jenis makanan rebusan, tetapi risiko meningkat dua kali lipat pada makanan bertepung seperti kentang dan singkong.

Proses pembusukan pada makanan kukusan biasanya tidak terlihat jelas. Tidak selalu ada bau asam atau perubahan warna yang signifikan. Dalam banyak kasus, kukusan masih tampak normal dan beraroma biasa, tetapi bakteri dan toksin yang tidak kasat mata sudah berkembang. Inilah yang membuat orang sering tidak menyadari bahaya hingga gejala keracunan muncul.

Keracunan makanan dapat menyebabkan mual, muntah, diare, kram perut, dan dalam kasus berat bisa memicu infeksi serius. Gejala ini bisa muncul mulai dari 30 menit hingga 12 jam setelah konsumsi makanan terkontaminasi. Pada anak-anak, lansia, dan individu dengan imun lemah, efeknya bisa jauh lebih parah.(tin,ist/dya)
 

Share:
Lenterajakarta.com.
Lenterajakarta.com.