22 November 2025

Get In Touch

Ironi Angka Triliun

Zainal Arifin Emka, Wartawan Tua, Pengajar Jurnalistik
Zainal Arifin Emka, Wartawan Tua, Pengajar Jurnalistik

OPINI (Lentera) -Belakangan ini, kata 'triliun menjadi satuan mata uang sehari-hari di kalangan elite. Angka-angka fantastis ini diucapkan dengan nada enteng dalam pidato menteri di depan rakyat berdompet tipis. Bagi rakyat yang angka jutaan saja sudah terasa jauh, apalagi triliunan.

Perbedaan realitas ekonomi yang mencolok ini – di mana sebagian besar rakyat bergulat mendapatkan seribu atau seratus ribu rupiah – membuat perbincangan mengenai dana triliunan menggigit rasa ketidakadilan, frustrasi, dan bahkan kepedihan.

Mengapa angka triliunan terasa begitu menyakitkan?

Pertama, rakyat mengalami kesulitan finansial yang nyata dan mendesak. Bagi mereka, setiap rupiah sangat berarti. Wajar jika nominal triliunan terasa sangat abstrak dan jauh dari realitas. Hal ini menciptakan jurang lebar antara elite pengambil kebijakan dan rakyat biasa.

Kedua, munculnya berita tentang alokasi dana triliunan untuk proyek-proyek yang tidak secara langsung atau mendesak membantu rakyat, telah menimbulkan persepsi bahwa para pembuat keputusan tidak sensitif atau tidak memahami kesulitan hidup publik. 

Ketika rakyat bergulat dengan harga kebutuhan pokok, pertanyaan publik pun muncul: "Apakah prioritas pemerintah sudah tepat? Apakah dana tersebut digunakan untuk mengatasi masalah dasar yang dialami rakyat?"

Tentu saja rakyat paham bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) memang beredar dalam skala ratusan hingga ribuan triliun rupiah. Ketika berbicara tentang pembangunan infrastruktur, dana bantuan sosial nasional, atau pembayaran utang negara, nominalnya selalu triliunan.

Masalah utamanya bukan semata pada angka triliunan, melainkan pada akuntabilitas dan dampak nyata dana tersebut. Publik berharap transparansi dan kejelasan tentang ke mana dana triliunan itu mengalir dan untuk kepentingan siapa. 

Nominal fantastis ini harus diterjemahkan menjadi dampak positif yang dapat dirasakan langsung. Seperti penciptaan lapangan kerja, stabilitas harga pangan, perbaikan layanan publik, atau peningkatan daya beli masyarakat.

Jika dana triliunan terkesan "menghambur" tanpa hasil yang jelas, atau bahkan ada indikasi penyelewengan, ini akan semakin memperparah rasa sakit dan menyulut ketidakpercayaan publik.

Diendapkan

Dua kasus terkait dana triliunan belakangan ini menjadi sorotan yang memperkuat rasa sakit publik: Konon, terdapat dana Pemerintah Daerah (Pemda) yang mengendap atau sengaja  diendapkan di bank dalam jumlah sangat besar. Mencapai ratusan triliun rupiah.

Padahal, dana publik ini seharusnya berputar untuk menggerakkan ekonomi lokal, menciptakan pekerjaan, dan membiayai layanan dasar bagi rakyat. 

Kontrasnya terlihat jelas: rakyat kesulitan mendapatkan uang untuk kebutuhan sehari-hari, sementara uang negara mengendap karena lambatnya serapan anggaran atau eksekusi program di daerah.

Hampir bersamaan, Pemerintah menyalurkan dana ratusan triliun rupiah ke bank-bank Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) untuk disalurkan sebagai kredit. Tujuannya memicu pertumbuhan ekonomi dan menggerakkan sektor riil. 

Namun, muncul kekhawatiran publik bahwa dana tersebut justru tidak benar-benar mengalir ke Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) atau sektor yang bersentuhan langsung dengan rakyat.

Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa perbincangan tentang "dana triliunan" menjadi menyakitkan bukan hanya karena kontrasnya dengan isi dompet rakyat. Tapi karena dana itu tidak bekerja saat rakyat sangat membutuhkan pergerakan ekonomi. 

Di sinilah diperlukan sensitivitas dan akuntabilitas para pemangku kebijakan untuk memastikan kekayaan negara benar-benar digunakan untuk memecahkan masalah dasar rakyat.

Jarak Moral 

Fenomena ini bukan sekadar soal uang, melainkan soal jarak sosial dan moral. Negara berbicara dalam bahasa triliun, rakyat hidup dalam realitas puluhan ribu.
Jarak moral ini menciptakan goyahnya kepercayaan. Rakyat merasa negara bicara dengan bahasa yang tak mereka pahami.

Uang rakyat, yang dikumpulkan dari pajak dan kekayaan alam, dihabiskan atau diselewengkan—mulai dari dugaan korupsi pada proyek besar hingga dana pembangunan yang "dicocok-tanamkan" di bank. Di titik inilah rasa keadilan terasa dicabut dari nurani.

Sebenarnya, rakyat tidak iri dengan angka triliunan. Mereka hanya ingin angka itu benar-benar bekerja untuk kehidupan mereka: jalan diperbaiki, pendidikan lebih terjangkau, layanan publik lebih manusiawi. Ketika angka-angka fantastis itu terdengar seperti dongeng, jauh dari keseharian yang bergulat dengan harga sembako atau cicilan motor, wajar jika muncul rasa sinis dan ketidakpercayaan.

Dari sisi etika kepemimpinan, ini menunjukkan betapa jauhnya empati sebagian pejabat tinggi terhadap realitas sosial. Mereka berbicara tentang “triliun”, nyaris tanpa sadar bahwa bagi rakyat, seratus ribu rupiah saja bisa menentukan makan atau tidak makan hari itu.

Bahasa elite dan bahasa rakyat kini seperti dua cermin yang saling memantulkan bayangan asing. Elite hidup dalam dunia simbolik angka besar yang kehilangan makna kemanusiaan. Rakyat merasa asing dan tidak percaya pada bahasa “triliunan” yang tak pernah mereka sentuh.

Pertemuan dua dunia yang tak lagi saling memahami inilah yang memicu krisis kepercayaan publik. Sebagaimana seorang warga bijak pernah berujar, "Masalah bangsa ini bukan semata kurangnya uang, tapi kurangnya rasa malu dan rasa empati dalam mengelola uang rakyat."

Penulis: Zainal Arifin Emka, Wartawan Tua, Pengajar Jurnalistik|Editor: Arifin BH

Share:

Punya insight tentang peristiwa terkini?

Jadikan tulisan Anda inspirasi untuk yang lain!
Klik disini untuk memulai!

Mulai Menulis
Lenterajakarta.com.
Lenterajakarta.com.