SURABAYA ( LENTERA ) - Gelar itu datang meski pembangunan gereja ini belum selesai sepenuhnya. Namun menara-menara yang telah berdiri, sebagian di antaranya baru rampung dalam beberapa tahun terakhir, sudah cukup untuk mengubah peta arsitektur dunia. Dengan tinggi 162,91 meter, Sagrada Familia kini melampaui Ulmer Münster di Jerman, yang selama lebih dari seabad bertahan sebagai gereja tertinggi dengan 161,53 meter.
Di Barcelona, kabar itu terasa seperti halaman baru sejarah yang kembali dibuka.
Bagi dunia, prestasi itu menegaskan satu hal, mahakarya Gaudí, meski penciptanya telah wafat hampir seratus tahun lalu, tetap hidup. Ia tumbuh, berubah, dan setiap harinya menyedot jutaan pasang mata yang ingin menyaksikan bagaimana mimpi besar terus dikerjakan dari generasi ke generasi.
Saat proyek ini dimulai pada 1882, tak ada seorang pun yang membayangkan bahwa bangunan tersebut kelak menjadi ikon global. Arsitek awalnya, Francisco de Paula del Villar, merancang gereja bergaya neo-Gotik. Tetapi hanya setahun kemudian, ketika Antoni Gaudí mengambil alih, arah proyek berubah drastis.
Gaudí mencurahkan hampir seluruh hidupnya ke Sagrada Familia. Empat dekade ia habiskan untuk membentuk basilika itu, dan lima belas tahun terakhir hidupnya ia habiskan hampir sepenuhnya di lokasi pembangunan. Baginya, gereja bukan sekadar bangunan, melainkan ekspresi iman. Ia menggabungkan struktur alam, matematika, dan spiritualitas menjadi bahasa arsitektur yang baru.
Ketika Gaudí meninggal pada 1926 setelah tertabrak trem, hanya satu dari 18 menara yang ia rencanakan berdiri. Namun fondasi pemikirannya cukup kuat untuk dijadikan panduan bagi generasi arsitek setelahnya. Hingga kini, para pemahat, insinyur, dan konservator yang melanjutkan proyek tetap berpegang pada filosofi sang maestro.
Sagrada Familia bukan bangunan yang dirancang untuk diselesaikan dengan terburu-buru. Ia adalah karya yang menuntut kesabaran dan keyakinan bahwa seni bisa tumbuh melampaui usia penciptanya.
Meski sudah menjadi gereja tertinggi, puncak sesungguhnya baru akan hadir ketika Menara Yesus Kristus selesai dibangun. Menara pusat itu dirancang menjulang 172 meter, menjadikannya menara gereja tertinggi yang pernah dibangun manusia. Puncaknya akan dimahkotai salib raksasa yang memancarkan cahaya.
Yayasan Sagrada Familia menargetkan menara pusat rampung pada 2026, tepat seabad wafatnya Gaudí. Sebuah penghormatan yang terasa simbolik, gagasan sang arsitek akhirnya tiba di puncaknya, meski ia tak pernah melihatnya terwujud.
Adapun penyelesaian seluruh basilika, termasuk fasad dan detail ornamen yang rumit, diperkirakan selesai pada pertengahan 2030-an. Bagi para pekerja, waktu bukan ancaman; ia adalah bagian dari proses kreatif.
Perjalanan panjang Sagrada Familia tidak selalu mulus. Pada masa Perang Saudara Spanyol (1936–1939), kaum anarkis merusak bengkel Gaudí dan membakar sebagian besar model plester serta sketsa detail basilika. Bagi para arsitek generasi berikutnya, kehilangan itu seperti kehilangan peta di tengah hutan. Mereka harus menggabungkan fragmen yang tersisa, menafsirkan ulang ide-ide Gaudí, dan menemukan kembali arah proyek.
Di era modern, tantangan datang dari arah yang berbeda, pandemi Covid-19. Ketika Spanyol menutup perbatasan dan jumlah wisatawan—sumber utama pendanaan—anjlok drastis, pembangunan terhenti untuk pertama kalinya dalam 138 tahun. Hanya pada 2024, ketika pariwisata kembali pulih, proyek ini mendapatkan napas baru. Yayasan mencatat ada sekitar 4,9 juta pengunjung berbayar pada tahun itu, angka yang membantu roda pembangunan berputar kembali.
Kini, derek-derek konstruksi masih menjulang di atas basilika. Namun bagi banyak pengunjung, keberadaannya justru menjadi bagian dari pengalaman—seperti mengamati mahakarya yang hidup, bukan monumen yang telah selesai.
Ketika Batu Bercerita
Keindahan Sagrada Familia tidak hanya terletak pada skala bangunannya. Yang membuatnya istimewa adalah bagaimana Gaudí menolak garis lurus dan mengambil alam sebagai guru utama. Pilar-pilar dalam basilika dirancang seperti pohon raksasa yang menopang langit-langit menyerupai kanopi hutan. Masuk ke dalamnya terasa seperti melangkah ke hutan suci, di mana cahaya menembus kaca patri dan berubah warna sepanjang hari.
Tiga fasad utama Sagrada Familia masing-masing menyimpan narasinya sendiri. Fasad Kelahiran, penuh ornamen organik yang menggambarkan sukacita kelahiran Yesus.
Fasad Sengsara dengan reliefnya yang tegas dan bersudut tajam, mencerminkan penderitaan dan pengorbanan. Terakhir Fasad Kemuliaan yang masih dalam proses pengerjaan, melambangkan perjalanan menuju keselamatan.
Di kejauhan, menara-menara basilika tampak seperti stalagmit yang tumbuh mengejar langit. Gaudí ingin bangunan ini terlihat seolah lahir dari bumi namun merindukan surga.
Setiap tahun, jutaan wisatawan datang untuk merasakan pengalaman spiritual, artistik, atau sekadar kekaguman arsitektur. Tur berpemandu membantu pengunjung memahami makna simbol-simbol kecil yang tersembunyi di balik ukiran, angka, dan ornamen.
Salah satu pengalaman paling menegangkan sekaligus memukau adalah menaiki menara gereja. Dari lift yang membawa pengunjung ke atas hingga tangga spiral yang berliku, perjalanan itu berakhir dengan pemandangan Barcelona yang terbentang luas—atap merah, laut Mediterania, hingga jejak-jejak peninggalan Gotik yang berpadu dengan gedung-gedung modern.
Di malam hari, basilika berubah rupa. Cahaya menyusup ke sela patung dan relief, menciptakan kesan seolah bangunan itu bernapas. Banyak pengunjung mengaku merasakan aura spiritual yang berbeda ketika melihat Sagrada Familia di bawah langit gelap Barcelona.
Bagi masyarakat Barcelona, Sagrada Familia bukan sekadar landmark. Ia adalah bagian dari identitas kota, perpaduan budaya, religiositas, dan kreativitas Catalan yang sulit ditandingi. Bagi umat Katolik, basilika ini menjadi ruang ziarah. Bagi pengunjung non-religius, ia tetap menawarkan ketenangan yang sulit dijelaskan.
Gaudí menyebut basilika ini sebagai “Alkitab dalam batu”. Siapa pun yang masuk akan memahami maksudnya: setiap celah dan cahaya memiliki makna.
Tak mengherankan jika UNESCO memasukkannya ke dalam daftar Warisan Dunia pada 2005. Ia bukan hanya tempat ibadah; ia adalah laboratorium seni, ruang kontemplasi, dan monumen perjalanan sejarah Eropa.(wid,ist/dya)





.jpg)
