
TBILISI (Lentera) – Situasi politik di Georgia memanas usai pemilihan umum yang digelar pada akhir pekan lalu. Ribuan warga turun ke jalan di ibu kota Tbilisi untuk memprotes hasil pemilu yang dianggap penuh kecurangan. Aksi tersebut berujung bentrok dengan aparat keamanan.
Partai berkuasa Georgian Dream, yang dipimpin Perdana Menteri Irakli Kobakhidze, menyatakan kemenangan di seluruh wilayah. Namun, dua partai oposisi utama menolak hasil itu dan menuding pemerintah melakukan manipulasi suara.
Dilaporkan oleh Associated Press, Senin (6/10/2025), Kobakhidze menuding pihak oposisi berupaya menggulingkan pemerintahannya. Ia berjanji akan menindak tegas kelompok yang disebutnya berusaha melakukan kudeta.
Kericuhan tak terhindarkan saat massa mencoba menerobos gerbang kompleks kepresidenan. Polisi menembakkan gas air mata dan menggunakan water cannon untuk membubarkan demonstran yang memaksa masuk.
Krisis politik di Georgia sebenarnya sudah berlangsung lama. Ketegangan meningkat sejak partai Georgian Dream menghentikan perundingan keanggotaan Georgia dengan Uni Eropa pada November tahun lalu. Keputusan itu memicu kemarahan publik, sebab keinginan bergabung dengan Uni Eropa merupakan aspirasi konstitusional warga Georgia.
Gelombang protes pun terjadi hampir setiap bulan. Pemerintah menanggapinya dengan tindakan keras, termasuk penangkapan aktivis, pembubaran demonstrasi, dan pemberlakuan undang-undang yang dianggap menekan kelompok masyarakat sipil serta media independen.
Kelompok oposisi menyebut gerakan mereka sebagai “revolusi damai” untuk memulihkan nilai-nilai demokrasi. Namun, Kobakhidze menganggap aksi tersebut bagian dari upaya untuk menggulingkan pemerintah.
Ia juga menuduh adanya campur tangan asing di balik gelombang protes, termasuk dukungan dari pejabat dan diplomat Uni Eropa. Meski demikian, Kobakhidze menyatakan siap membuka kembali dialog dengan mitra Barat.
“Saya siap memulai dari awal, memulihkan hubungan, dan membangun kembali kerja sama dengan semua pihak,” ujar Kobakhidze.
Sementara itu, Uni Eropa menolak tudingan tersebut dan menyebut klaim pemerintah Georgia sebagai bentuk disinformasi yang tidak berdasar.
Editor:Widyawati/berbagai sumber