08 October 2025

Get In Touch

Nasabah Bank Mandiri di Madiun Diteror Tagihan Meski Kasus KPR Masih Disidang

Nasabah KPR Bank Mandiri, Dwi Ernawati, bersama suami menunjukkan pesan penagihan melalui WhatsApp dari pihak bank. Ia mengaku masih menerima tagihan meski kasus sengketa KPR-nya tengah bergulir di Pengadilan Negeri Madiun.ist
Nasabah KPR Bank Mandiri, Dwi Ernawati, bersama suami menunjukkan pesan penagihan melalui WhatsApp dari pihak bank. Ia mengaku masih menerima tagihan meski kasus sengketa KPR-nya tengah bergulir di Pengadilan Negeri Madiun.ist

MADIUN (Lentera) – Dwi Ernawati, nasabah Kredit Pemilikan Rumah (KPR) Bank Mandiri, mengaku terus menerima teror tagihan meski sengketa kreditnya masih bergulir di Pengadilan Negeri (PN) Kota Madiun. Ironisnya, rumah yang ia cicil melalui sistem auto debit justru sempat masuk daftar lelang.

Nama Erna dan suaminya, Claudia Kristian Putra Pradigda, kini tercatat di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dengan status kredit macet atau kolektibilitas 5. “Saya berhenti membayar karena status rumah tidak jelas. Tapi telepon penagihan dari Mandiri terus datang sampai 2023,” ujar Erna usai menjalani mediasi tahap kedua di PN Madiun, Senin (6/10/2025).

Dalam pertemuan mediasi itu, Erna hadir bersama kuasa hukumnya, Wahyu Dhita Putranto, serta sang suami. Ia menceritakan, kasus ini bermula ketika dirinya mengetahui rumah yang tengah dicicil ternyata masuk daftar lelang. Informasi tersebut ia peroleh dari seorang teman yang membaca berita di koran. 

Saat dicek, kabar itu benar adanya, bahkan plang lelang sudah terpasang di depan rumahnya.

“Waktu saya lihat langsung, saya kaget karena rumah itu masih saya cicil lewat auto debit. Setelah beberapa waktu, plang itu dicabut, tapi hidup saya tidak lagi tenang karena terus ditekan lewat telepon penagihan,” tuturnya.

Dalam mediasi, kuasa hukum penggugat menyampaikan proposal penyelesaian perkara yang berisi sejumlah tuntutan, antara lain pengembalian seluruh angsuran yang telah dibayar, pemutihan catatan kredit di OJK agar nama nasabah kembali bersih, serta ganti rugi immateriel dan pemulihan nama baik, masing-masing senilai Rp5 miliar.

Wahyu menjelaskan, sejak angsuran terakhir ke-30, kliennya masuk daftar hitam perbankan dan tidak dapat lagi mengajukan kredit di bank mana pun.

Menurut Wahyu, pihak Bank Mandiri dalam mediasi menyatakan siap mengembalikan kerugian material, namun tiga tuntutan lainnya masih akan dibahas di tingkat manajemen. Ia juga menegaskan bahwa akar persoalan terletak pada kelalaian internal Bank Mandiri dalam proses pengikatan kredit. 

Sesuai Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, setiap kredit dengan jaminan Sertifikat Hak Milik (SHM) wajib diikat melalui Akta Pembebanan Hak Tanggungan (APHT).

Namun, dalam kasus Erna, Bank Mandiri diduga tidak memegang sertifikat asli dan tidak membuat APHT. Akibatnya, secara hukum, bank tidak memiliki dasar untuk melakukan lelang terhadap rumah tersebut. “Tanpa APHT, bank tidak punya dasar hukum melakukan lelang. Ini pelanggaran serius dalam mekanisme perbankan,” tegasnya.

Wahyu menambahkan, selain kasus Erna, pihaknya juga telah mendaftarkan satu gugatan baru terhadap Bank Mandiri terkait persoalan KPR lainnya, yang dijadwalkan mulai disidangkan pada 15 Oktober 2025.

Sementara itu, Erna berharap majelis hakim dapat memberikan putusan yang adil. “Uang hilang, nama rusak, tiap bulan ditelepon disuruh bayar. Kapok rasanya,” ujarnya.

Kuasa hukum Bank Mandiri, Hananto, enggan memberikan komentar terkait perkara ini. Saat dikonfirmasi melalui pesan WhatsApp, ia hanya menulis singkat, “Sore, Mas. Ngapunten nggih, saya tidak bisa kasih komentar. Maaf ya, Mas.”


Reporter: Wiwiet Eko Prasetyo/Editor:Widyawati

Share:
Lenterajakarta.com.
Lenterajakarta.com.